Dongeng Si Kikir Saat Akan Meninggal
Suatu hari, si kikir sakit keras dan dokter menyatakan bahwa hidupnya hanya tinggal sebentar lagi. Setelah mendengar berita itu, si kikir langsung teringat dengan hartanya yang melimpah. "Kepada siapa aku harus mewariskan harta kekayaanku?" batin si kikir.
Kemudian si kikir memanggil ketiga anaknya. Ia bermaksud untuk menguji mereka, kira-kira siapa yang paling pantas untuk menerima warisan darinya. Kepada anak tertua, si kikir berkata, "Katakan kepadaku, bagaimana kau akan memakamkanku nanti?"
"Aku akan mengadakan upacara pemakaman besar-besaran," ujar si sulung. "Aku akan memesan batu nisan yang indah dan mahal untuk ayah. Setelah itu, aku akan memberi makan tetangga selama seminggu berturut-turut."
"Apa? Kau benar-benar bodoh!" hardik sang ayah. "Pemakaman besar-besaran! Batu nisan yang mahal! Memberi makan tetangga selama seminggu! Sia-sialah aku membesarkanmu selama ini!"
Kemudian sang ayah yang kikir itu bertanya kepada anak kedua. Si anak kedua mengerti bahwa sang ayah tidak menginginkan acara pemakaman yang mewah. Karena itu, ia menjawab, "Aku akan mengadakan upacara yang sederhana saja. Aku hanya akan mengundang pendeta untuk mendoakan ayah, serta beberapa saudara dan tetangga yang benar-benar dekat dengan kita."
"Keterlaluan!" sang ayah lagi-lagi menghardik. "Kau tahu berapa biaya yang harus dibayarkan kepada pendeta? Dan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menjamu saudara dan tetangga? Itu semua pemborosan! Ah, kau sama saja dengan kakakmu itu!"
Si anak bungsu sudah lama sekali tidak suka dengan sifat kikir sang ayah. Kini, ia semakin benci dengan sifat kikir ayahnya yang semakin menjadi-jadi itu. Maka setelah ditanya oleh ayahnya, ia pun menjawab dengan kesal, "Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk pemakaman ayah! Bahkan aku akan menghasilkan uang!"
Tak disangka, sang ayah malah tertarik dengan ucapan si bungsu. Lantas ia berkata dengan penuh rasa penasaran, "Memangnya bagaimana caramu menghasilkan uang dari kematianku?"
"Aku akan menjual tubuhmu ke sekolah kedokteran di Provinsi Selatan!" sahut si bungsu, semakin kesal melihat tanggapan sang ayah yang tidak disangka-sangkanya itu. "Mereka membutuhkannya untuk mempelajari organ-organ manusia. Aku akan menjualnya kepada penawar tertinggi."
"Baguuus! Baguuus! Hahaha... kau memang anak ayah! Kau akan menjadi pewaris tunggal kekayaanku!" seru si kikir tersebut sambil tertawa penuh kebanggaan. Ketiga anaknya melongo menyaksikan reaksi ayahnya itu.
"Tapi ayah, tidakkah ayah sadar dengan apa yang dikatakan oleh si bungsu?" tanya si sulung, terheran-heran. "Si bungsu akan menjual tubuh ayah ke Provinsi Selatan!"
"Oh ya! Kau tidak boleh menjual tubuhku ke provinsi selatan!" ujar sang ayah. Ketiga anaknya mengangguk-angguk. Mereka merasa sang ayah sudah bisa berpikir dengan jernih lagi. Tapi, kemudian sang ayah berkata, "Orang-orang di provinsi selatan suka mengutang! Jadi lebih baik kau menjualnya ke rumah sakit di provinsi utara saja!"
Ketiga anak si kikir menepuk dahi. Menyerah sudah mereka dalam menghadapi sifat ayahnya yang sangat kikir itu.
Kemudian si kikir memanggil ketiga anaknya. Ia bermaksud untuk menguji mereka, kira-kira siapa yang paling pantas untuk menerima warisan darinya. Kepada anak tertua, si kikir berkata, "Katakan kepadaku, bagaimana kau akan memakamkanku nanti?"
"Aku akan mengadakan upacara pemakaman besar-besaran," ujar si sulung. "Aku akan memesan batu nisan yang indah dan mahal untuk ayah. Setelah itu, aku akan memberi makan tetangga selama seminggu berturut-turut."
"Apa? Kau benar-benar bodoh!" hardik sang ayah. "Pemakaman besar-besaran! Batu nisan yang mahal! Memberi makan tetangga selama seminggu! Sia-sialah aku membesarkanmu selama ini!"
Kemudian sang ayah yang kikir itu bertanya kepada anak kedua. Si anak kedua mengerti bahwa sang ayah tidak menginginkan acara pemakaman yang mewah. Karena itu, ia menjawab, "Aku akan mengadakan upacara yang sederhana saja. Aku hanya akan mengundang pendeta untuk mendoakan ayah, serta beberapa saudara dan tetangga yang benar-benar dekat dengan kita."
"Keterlaluan!" sang ayah lagi-lagi menghardik. "Kau tahu berapa biaya yang harus dibayarkan kepada pendeta? Dan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menjamu saudara dan tetangga? Itu semua pemborosan! Ah, kau sama saja dengan kakakmu itu!"
Si anak bungsu sudah lama sekali tidak suka dengan sifat kikir sang ayah. Kini, ia semakin benci dengan sifat kikir ayahnya yang semakin menjadi-jadi itu. Maka setelah ditanya oleh ayahnya, ia pun menjawab dengan kesal, "Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk pemakaman ayah! Bahkan aku akan menghasilkan uang!"
Tak disangka, sang ayah malah tertarik dengan ucapan si bungsu. Lantas ia berkata dengan penuh rasa penasaran, "Memangnya bagaimana caramu menghasilkan uang dari kematianku?"
"Aku akan menjual tubuhmu ke sekolah kedokteran di Provinsi Selatan!" sahut si bungsu, semakin kesal melihat tanggapan sang ayah yang tidak disangka-sangkanya itu. "Mereka membutuhkannya untuk mempelajari organ-organ manusia. Aku akan menjualnya kepada penawar tertinggi."
"Baguuus! Baguuus! Hahaha... kau memang anak ayah! Kau akan menjadi pewaris tunggal kekayaanku!" seru si kikir tersebut sambil tertawa penuh kebanggaan. Ketiga anaknya melongo menyaksikan reaksi ayahnya itu.
"Tapi ayah, tidakkah ayah sadar dengan apa yang dikatakan oleh si bungsu?" tanya si sulung, terheran-heran. "Si bungsu akan menjual tubuh ayah ke Provinsi Selatan!"
"Oh ya! Kau tidak boleh menjual tubuhku ke provinsi selatan!" ujar sang ayah. Ketiga anaknya mengangguk-angguk. Mereka merasa sang ayah sudah bisa berpikir dengan jernih lagi. Tapi, kemudian sang ayah berkata, "Orang-orang di provinsi selatan suka mengutang! Jadi lebih baik kau menjualnya ke rumah sakit di provinsi utara saja!"
Ketiga anak si kikir menepuk dahi. Menyerah sudah mereka dalam menghadapi sifat ayahnya yang sangat kikir itu.
Posting Komentar